BAPPEDA JABAR - Perlu Regulasi Pengupahan Khusus dari Provinsi, Agar Industri Garmen Jabar Eksis
Perlu Regulasi Pengupahan Khusus dari Provinsi, Agar Industri Garmen Jabar Eksis
24 October 2018 11:29

BANDUNG, TRIBUNJABAR.ID — Ketua Badan Pengurus Provinsi (BPP) Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Dedy Widjaja, menilai bahwa penuntutan kenaikan upah 25 persen sangat memberatkan, terutama bagi industri padat karya, khususnya garmen.

Untuk itu diperlukan adanya regulasi pengupahan khusus yang diterbitkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat.

Hal itu diakuinya mencuat karena pemerintah sudah menetapkan bahwa kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) ditentukan sebesar 8,03 persen. Namun sebagian kalangan pekerja menolak kenaikan itu. Salah satu alasannya adalah penetapannya berdasar kepada Peraturan Pemerintah 78/2015. Kalangan serikat pekerja, yang mengajukan penuntutan kenaikan UMP 2019 sebesar 25 persen, ingin penetapannya berdasarkan UU 13/2003. Menurut Dedy, saat ini, industri garmen, khsusunya di Jabar dalam kondisi yang sangat berat. Sehingga tidak heran jika dalam dua tahun terakhir, penetapan nilai upah sektor ini pun diberlakukan secara khusus dimana nilainya di bawah upah minimum kabupaten kota (UMK).

“Kenaikan 25 persen seperti yang dituntut kalangan pekerja, bagi industri garmen sangat memberatkan. Kalau pun terjadi kenaikan, nilainya harus mengacu kepada nilai yang diberlakukan secara khusus, yaitu di bawah UMK, bukan pada nominal UMK yang berlaku saat ini,” kata Dedy kepada wartawan di kawasan Jalan Pasirkoja Bandung, Senin (22/10/2018).

Dedy menyontohkan, misalnya UMK senilai Rp 2.000.000, maka upah pekerja industri garmen yang berlaku khusus adalah sejumlah Rp 1.750.000. Jika harus terjadi kenaikan, menurut Dedy, kenaikan itu harus mengacu kepada jumlah UMK khusus yaitu dari Rp 1.750.000 dan bukan dari Rp 2.000.000. Apabila kenaikannya berdasarkan nominal UMK yang berlaku, menurut Dedy, maka industri garmen Jabar akan semakin terancam keberadaannya.

“Bagi garmen Jabar sangat berat. Sehingga saat ini garmen Jabar hanya punya dua opsi, tutup atau relokasi (ke luar provinsi),” katanya.

Dedy mengatakan bahwa belum lama ini, dia industri garmen di Purwakarta, yang total pekerjanya sekita 4 ribu orang, terpaksa setop produksi karena tidak sanggup lagi menanggung beban. Berkaca dari hal ini, Dedy berpendapat agar industri garmen Jabar terselamatkan, perlu ada regulasi pengupahan khusus yang diterbitkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jabar.

Jika tidak, besar kemungkinan industri garmen di Jabar akan setop produksi atau relokasi. Jika relokasi, maka daerah Jawa Tengah menjadi sentra pilihan mengingat UMK di sana rata-rata jauh di bawah UMK Jabar. Dedy mengaku tidak sedang menggertak. Menurut dia, beratnya beban yang dipikul garmen Jabar sudah terbukti dengan adanya sejumlah industri itu yang setop produksi dan ada juga yang relokasi ke Jateng.

Selain dua industri garmen di Purwakarta yang tutup belakangan, sebelumnya belasan industri lainnya sudah tutup terlebih dahulu. Terkini, kata Dedy, beberapa industri garmen lainnya di sejumlah daerah, juga terancam gulung tikar, antara lain di Subang, Depok, Bogor, dan Bekasi.

Sementara terkait relokasi, Dedy mengatakan bahwa sudah banyak industri garmen Jabar yang relokasi ke Jateng yakni sekitar 40 industri. Alasannya, upah di Jateng lebih murah daripada Jabar.

“Kalau tidak ada treatment khusus, industri garmen Jabar mungkin hanya bertahan dua tahun lagi. Artinya, pada 2020, tidak tertutup kemungkinan, Jabar tidak memiliki industri garmen,” katanya. (Kemal Setia Permana)

Copyright © Humas Bappeda Provinsi Jawa Barat 2022