BAPPEDA JABAR - Kemenkeu Diminta Revisi Kebijakan tentang PPN Harga Daging Terkena Pajak
Kemenkeu Diminta Revisi Kebijakan tentang PPN Harga Daging Terkena Pajak
25 January 2016 21:21

Bandung, (PR).- Harga daging sapi yang terjadi saat ini diklaim salah satunya karena peraturan Kementerian Keuangan terkait pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen.

Untuk itu Kementerian Keuangan diminta untuk merevisi Peraturan Kementerian Keuangan (PMK) Nomor 267/PMK.010/2015. Alasannya, bila diteruskan, peraturan tersebut akan mengancam produksi dalam negeri.

“Tidak hanya daging sapi, tetapi juga lainnya, seperti domba, kambing, ayam terlur, dan babi,” kata Peneliti Sosial Ekonomi Peternakan di Pusat Pengembangan Inovasi dan LPPM Universitas Padjajaran Rochyadi Tawaf, kepada “PR” di Bandung, Kamis (22/1/2016).

Rochyadi menuturkan, berdasarkan aturan tersebut, pemerintah telah pro kepada daging impor. Alasannya, pada peraturan itu seluruh komoditas seperti sapi potong, domba, kambing, ayam, bahkan babi dikenakan pajak. Sedangkan untuk sapi indukan dan bahan kebutuhan pokok seperti daging, telur, dan susu tidak dikenakan pajak. Padahal seperti yang diketahui masyarakat, banyak daging impor yang masuk ke negara lain.

Kondisi tersebut tentunya sangat bertolak belakang denga keinginan pemerintah yang berupaya membangun kemandirian pangan.

Rochyadi, yang juga Sekretaris Jenderal DPP Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) mengatakan, hingga saat ini ia terus menerima banyak pertanyaan dari para pelaku usaha, baik peternak maupun pedagang daging sapi dari seluruh daerah Indonesia terkait hal tesebut.

Mereka mengeluhkan peraturan itu dan mempertanyakan bagaimana pemerintah mengeluarkan peraturan tanpa memperhatikan efeknya kepada masyarakat dan juga industry dalam negeri.

Hal senada dikatakan Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jabar, hengki Widiatmoko. Dia akan membawa persoalan ke rapat koordinasi yang digelar oleh Kementerian Perdagangan pada pecan depan.

Alasannya, kebijakan tersebut telah membuat harga daging sapi menjadi melonjak. Pedagang pun menjadi kesulitan untuk menjual barangnya.

“Yang jadi persoalan, kebijakan itu akan menganggu tata niaga daging sapi. Kalau diteruskan tanpa mengevaluasi, bisa terjadi lonjakan harga dan akan sangat memberatkan masyarakat.  Efek di hilir ini yang harus dipikirkan pemerintah,” ujarnya.

Sebelumnya, pemerintah melalui Kemenkeu telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomoor 267/PMK.010/2015 terkait dengan pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10 persen pada sapi bakalan yang diimpor.

Sejak diberlakukan  pada 8 Januari 2016, banyak kalangan menilai langkah pemerintah ini diprediksikan malah membuat harga daging sapi di pasar akan semakin mahal. Pasalnya, selama ini sapi bakalan yang diimpor tidak pernah dikenai pajak. Tapi, mulai 2016, sapi bakalan dikenakan pajak 10 persen.

Monopoli

Sementara itu, Meteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli mengatakan, mahalnya harga daging sapi disebabkan adanya monopoli impor yang dilakukan oleh beberapa pedagang besar. Dari sekitar 40 pengusaha impor sapi yang tercatat di Kementerian Perdagangan, saat ini terdapat 6 hingga 7 importir yang merajai impor sapi. “Jadi yang enam hingga tujuh ini memonopoli impor sapi,” ujar Rizal, seperti dikutip dari okezone.com.

Selain, memonopoli impor sapi, ujar Rizal, para pengusaha ini jjuga berperan sebagai produsen sapi. Sehingga, haraga daging sapi dapat ditentukan secara bebas oleh para pengusaha yang memiliki modal besar tersebut.

Namun, saat dikonfirmasi mengenai data pengusaha yang melakukan monopoli, Rizal enggan menjelaskan lebih rinci dan memilih untuk langsung ke ruangan kerja.

Sebagai informasi, harga daging sapi di Indonesia saat ini yang mencapai Rp120.000 per kg lebih mahal disbanding dengan daging sapi di Malaysia yang hanya Rp60.000 per kg. Bahkan, harga daging sapi di Indonesia juga jauh lebih mahal disbanding rata-rata harga daging sapi internasional yang hanya mencapai Rp45.000 per kg.

Copyright © Humas Bappeda Provinsi Jawa Barat 2022