Tribunnews.com.- Belum tuntasnya pembangunan Jalan Lingkar Jatigede ketika penggenangan Bendungan Jatigede dimulai pada pengujung Agustus tahun lalu seperti diduga mulai menimbulkan masalah. Hingga kemarin, jalan yang rencananya akan dibangun sepanjang 40-an kilometer itu baru selesai kira-kira sepertiganya, sementara kedalaman air bendungan sudah mencapai lebih dari 335 meter, dan nyaris memutus jalur Sumedang-Wado di Sukamenak. Terputusnya ruas jalan provinsi di elevasi 240 meter itu tentunya memiliki dampak yang sangat panjang. Puluhan bus-bus dari Jakarta tak akan lagi pernah sampai ke Wado. Begitu pula kendaraan dari Sumedang yang memasok semua kebutuhan di Pasar Wado. Tergenangnya jalan itu juga akan memutus arus lalu-lintas menuju Malangbong, Kabupaten Garut. Ratusan anak-anak sekolah yang tinggal di Wado kesulitan untuk sampai ke sekolah mereka di Darmaraja. Begitu pula warga Wado yang sehari- hari bekerja di Sumedang Kota. Dalam sepekan terakhir, rata-rata ketinggian air bendungan naik 40 sentimeteran. Dengan terus tingginya curah hujan hari-hari ini, hampir bisa dipastikan bahwa dalam beberapa hari ke depan, mimpi buruk itu akan menjadi kenyataan. Jalur alternatif, sebenarnya sudah disiapkan Satuan Kerja (Satker) Jatigede untuk mengantisipasi kondisi tersebut. Namun, di sini justru masalah kembali muncul lantaran jalur yang disiapkan ternyata adalah jalur jalan desa yang tak hanya sempit, tapi juga curam. Dengan jalur yang sempit, kendaraan-kendaraan besar otomatis tak bisa masuk. Jangankan kendaraan besar, kendaraan kecil pun salah satu harus menepi jika kebetulan berpapasan. Di sisi lain, tak selesainya jalan lingkar yang akan menjadi jalan pengganti jalan provinsi penghubung Wado dan Jatinunggal di Sukamenak ketika air sudah hampir merendam, jelas mengindikasikan “sesuatu”. Pembangunan bendungan adalah proyek yang terencana, dengan waktu penggenangan yang sudah tentu sangat terukur. Itu sebabnya ketika perkiraannya meleset hingga sejauh ini, masalah pasti bukan semata teknis dan pasti sangat kompleks. Dengan keberhasilan menyelesaikan banyak sekali masalah hingga bendungan akhirnya bisa digenangi, “masalah” jalan jelas menjadi noda. Jika tidak pusat, pemerintah provinsi seharusnya bisa menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi dan mengatasinya. Apalagi, sedari awal, seperti yang sempat dikatakan Wakil Bupati Sumedang, Eka Setiawan, mereka sudah menyampaikan kepada pemerintah pusat tentang kondisi darurat yang mungkin terjadi pasca-penggenangan Bendungan Jatigede. Eka bahkan lugas sekali mengatakan bahwa terputusnya jalan itu akibat Bendungan Jatigede merupakan tanggungjawab pemerintah pusat. Kita berharap, masalah ini bisa diperhatikan lebih serius lagi baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi. Apalagi, kabarnya, sebuah bendungan kembali akan dibangun tahun ini, dan merendam sejumlah desa di Kabupaten Sumedang, seperti Cibubuan, Karanglayung, Cibuluh, Ungkal, dan Desa Cikawung. Kita tak ingin masalah dalam pembangunan Bendungan Jatigede kembali terjadi pada pembangunan bendungan yang rencananya akan berfungsi pada 2020 ini. Bukan cuma masalah jalan, masalah ganti rugi lahan, tapi juga dampak sosial yang pasti akan ditimbulkannya. Kalau pun, di kawasan genangan, kemarin, satu keluarga di Kampung Cisarasat, Desa Cipaku, Kecamatan Darmaraja, masih bertahan sekalipun rumah mereka terendam. Mereka menolak pindah karena yakin bahwa rumah mereka tak akan pernah tenggelam.