Antarajabar.com.- Sebanyak 11 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Jawa Barat, atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Tahun Anggaran 2015, Prestasi tersebut disampaikan oleh Kepala Perwakilan BPK RI Provinsi Jawa Barat, Arman Syifa, kepada Ketua DPRD dan Kepala Daerah di Bandung, Senin. Ada tujuh pemda yang meraih opini WTP dari tahun sebelumnya tersebut Kota Banjar, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Cianjur, Kota Cimahi, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Tasikmalaya. Sementara itu, ada empat pemda yang meraih opini WTP untuk pertama kalinya yakni Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Bogor, Kabupaten Garut, Kabupaten Karawang. Kepala Perwakilan BPR RI Provinsi Jawa Barat Arman Syifa menuturkan berdasarkan PP Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah, tahun 2015 merupakan tahun pertama bagi pemda di seluruh Indonesia menerapkan Akuntansi berbasis akrual baik pada penetapan sistem akuntansinya atau penyajian laporan keuangannya. Ia mengatakan manfaat Akuntansi berbasis akrual ini adalah dapat memberikan gambaran utuh atas posisi keuangan pemda, menyajikan informasi yang sebenarnya mengenai hak dan kewajiban pemda dan memberikan informasi yang lebih berkualitas dalam mengevaluasi kinerja pemda. “Opini WTP merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai ‘kewajaran’ laporan keuangan, bukan merupakan ‘jaminan’ tidak adanya fraud yang ditemui ataupun kemungkinan timbulnya fraud di kemudian hari,” kata dia. Hal ini penting disampaikan mengingat masih banyak terjadi kesalahpahaman oleh sebagian kalangan mengenai makna opini BPK. Menurut dia, beberapa permasalahan terkait dalam penetapan akuntansi berbasis akrual yang masih dihadapi oleh pemda diantaranya ialah masalah pengusutan (termasuk beban pengusutan yang tersaji di LO dan akumulasi pengusutan di neraca), masalah penyajian dana BOS dan dana lainnya di luar APBD. Adapun temuan yang perlu mendapat perhatian pada beberapa pemda, kata dia, diantaranya adalah pembukaan rekening oleh bendahara SKPD tanpa melalui persetujuan kepala daerah dan atau BUD, aset tetap tanah yang dimiliki pemda masih belum bersertifikat, tanah fasos fasum yang belum diserahkan kepada pemda setempat, kesalahan alokasi penganggaran dan pengelolaan PBB P2 setelah pelimbahan dari pemerintah pusat.