BAPPEDA JABAR - Membangun Jejaring Bisnis Gabah/Beras yang Profesional
Membangun Jejaring Bisnis Gabah/Beras yang Profesional
03 November 2016 15:37

Oleh: Entang Sastraatmadja (Komite Perencana Bappeda Provinsi Jawa Barat)

 

Di negeri ini, tidak ada yang lebih penting terkecuali beras. Apalah artinya uang yang berlimpah jika tidak ada beras. Apalah arti nya emas batangan, bila tidak ada beras. Apalah arti nya mata uang asing yang jumlah nya milyaran dolar AS, kalau dalam kehidupan sehari-hari tidak ditemukan beras. Ini penting kita catat, karena yang membuat nyawa kita bertahan adalah ada nya beras. Tidak ada beras, jelas tidak ada lagi kehidupan, dan sudah sejak lama beras menjadi bahan pangan pokok masyarakat, dengan lebih dari 90 % penduduk Indonesia menggantungkan nasib dan kehidupan nya terhadap beras

Itu sebabnya, Pemerintah telah menetapkan beras sebagai komoditas politis dan strategis, yang memerlukan perlakuan khusus dalam pengelolaannya. Beras bukan komoditas ekonomi yang dengan sesuka hati dapat dijual-belikan secara bebas. Tapi melalui Perum Bulog yang sejatinya adalah “lembaga parastatal” yang dituntut untuk mampu menciptakan stabilisasi harga, bukan hanya harga beras tetapi termasuk didalamnya stabilisasi harga pangan, dengan maksud untuk menjaga stabilisasi produsen dan konsumen memperoleh keuntungan yang sama. Dalam hal ini Pemerintah berharap banyak, termasuk di dalamnya soal pengadaan dalam negeri, penyaluran dan pengelolaan cadangan beras itu sendiri.

Para petani  telah mampu mematrikan diri sebagai bangsa yang cukup sukses dalam memacu peningkatan produksi dan produktivitasnya, sehingga pada tahun 1984 dan 2008 dapat menggapai swasembada beras. Keberhasilan yang sifatnya mendunia ini, tentu saja menjadi kenangan tersendiri bagi para tokoh tani yang ketika itu ikut hadir di Roma, Itali. Mereka seperti yang tak percaya, bila jerih payah dan kerja kerasnya selama ini, mampu mengharumkan bangsa di panggung dunia.  Inilah salah satu prestasi pembangunan yang patut kita catat dengan tinta emas selama bangsa kita melakukan kegiatan pembangunannya.

Keberadaan dan posisioning beras dalam pembangunan yang kita lakoni sekarang, jangan sampai menjadi terpinggirkan karena kita lebih mengedepankan kepentingan politik sesaat, ketimbang memikirkan nasib bangsa ke depan. Siapa pun Pemerintah yang berkuasa, yang namanya beras tetap harus dijadikan prioritas. Beras tidak boleh dipandang sebelah mata.

 

Harga Beras Murah

Pilihan untuk memberi “kepuasan” kepada petani padi sekaligus juga kepada konsumen, bukanlah hal yang cukup mudah untuk diwujudkan. Petani selaku produsen, pasti mendambakan harga jual yang pantas,  sedangkan konsumen tentu menginginkan harga beras yang murah. Ironisnya, dalam suasana sekarang, para petani tidak lagi tercatat sebagai produsen gabah, namun petani pun dikenal sebagai konsumen beras. Dalam rangka merajut dua kepentingan diatas, Pemerintah telah menetapkan kebijakan harga beras murah sebagai pilihan solusinya.

Pemerintah meyakini, tanpa adanya pengaturan yang terukur terhadap harga beras, dikhawatirkan dapat memacu inflasi, sehingga mengganggu stabilitas ekonomi makro. Di sisi lain, Pemerintah juga sadar, kesejahteraan petani padi tetap harus diperhatikan. Keberpihakan Pemerintah terhadap petani harus senafas dengan keberpihakannya kepada konsumen. Untuk “mendekatkan” ke dua keadaan ini, Pemerintah tampil lewat kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP), yang merupakan instrument kebijakan harga yang ingin memperjelas soal “keparastatalan” sebuah lembaga pangan.

Beberapa kalangan menilai, HPP Gabah dan Beras ini kurang memperlihatkan “kecintaan”nya terhadap petani. Berbeda kondisinya ketika Pemerintah menerapkan kebijakan Harga Dasar (Floor Price) dan Harga Atap (Ceiling Price). Melalui kebijakan Harga Dasar, Pemerintah benar-benar melakukan “pembelaan” dan “perlindungan” terhadap petani, yang artinya kalau harga gabah di pasaran lebih rendah dari Harga Dasar yang ditetapkan, maka Pemerintah berkewajiban untuk membeli gabah petani pada angka Harga Dasar yang ada. Dalam kebijakan HPP, Pemerintah tidak memiliki kewajiban bila harga gabah di pasar nilainya lebih rendah dari HPP yang ditetapkan.

Kebijakan harga beras murah ini perlu dilakukan kaji ulang, karena potret petani padi sekarang, sangat jauh berbeda dengan jati diri petani padi di masa lalu. Saat ini, petani padi adalah warga bangsa yang sudah tidak berdaulat lagi atas lahan sawah yang diusahakannya. Sebagian besar tercatat sebagai petani gurem (rata-rata kepemilikan lahan sawah nya sebesar 0,3 hektar) dan petani buruh (sama sekali tidak memiliki lahan sawah). Lebih dari 70 %  petani di negeri ini tergolong ke dalam petani gurem dan petani buruh. Hanya sebagian kecil saja petani padi yang memiliki lahan sawah diatas 1 hektar.

Dihadapkan pada keadaan yang demikian, tidak bisa dipungkiri, “standing posision” petani sebagai produsen sudah sangat sukar untuk dipertahankan, mereka selain sebagai produsen mereka juga adalah sebagai konsumen. Akibatnya, perlu dicari terobosan cerdas bagaimana caranya agar para petani dapat memenuhi kebutuhan pangan pokok dari hasil usahataninya sendiri. Kebijakan “lumbung padi” yang beberapa tahun silam telah membudaya dalam kehidupan masyarakat di pedesaan, tampaknya sudah waktunya dihangatkan untuk diangkat kembali. Inti masalahnya adalah sampai sejauh mana Pemerintah mampu “menengahi” suasana yang tengah terjadi, sehingga kesejahteraan petani menjadi semakin baik.

 

Petani Beras

Bila kita bedah apa yang disebut dengan konsep “agribisnis perberasan”, maka nilai tambah ekonomi yang paling tinggi diperoleh dari pengolahan gabah menjadi beras. Sedangkan nilai tambah ekonomi dari benih/bibit menjadi gabah, tidak sebesar perubahan dari gabah ke beras. Hal ini dapat diamati dari harga per kilo gram gabah yang jauh lebih rendah dari harga per kilo gram beras. Oleh  sebab itu, jika petani kita hanya berhenti di gabah, maka nilai tambah ekonomi maksimal dari agribisnis perberasan tidak bakal tercapai, dan akan lain  ceritanya jika petani kita mampu berujung di beras, dengan kata lain dapat disebutkan bahwa tugas mulia yang mendesak untuk ditempuh adalah sampai sejauh mana kita dapat merubah “petani gabah” menjadi “petani beras” dalam waktu yang sesingkatnya.

Hasrat untuk menampilkan “petani beras”, sudah sepantasnya dijadikan kebijakan nasional. Kita perlu merumuskan dan menskenariokan lewat sebuah gerakan, dan para pengambil kebijakan di bidang pembangunan mesti berani membuat perbedaan yang mendasar antara “pembangunan pertanian” di satu sisi dengan “pembangunan petani” di sisi yang lain. Kementerian Pertanian boleh saja mengaku Pembangunan Pertanian adalah tupoksinya. Namun, ketika bicara Pembangunan Petani apakah Kementerian Pertanian akan mengaku sebagai tupoksi nya pula ? Rasanya tidak. Urusan rusaknya irigasi atau hancurnya jalan di sentra produksi, jelas bukan tupoksinya Kementerian Pertanian. Namun itu adalah tanggungjawab Kementerian Pekerjaan Umum.

Pembangunan Petani yang ingin kita tuju, tentu bukan hanya sekedar meningkatkan pendapatan petani semata, tetapi yang lebih utama adalah bagaimana dengan suasana kesejahteraannya. Kita ingin agar para petani, khususnya petani padi mampu hidup layak dan bermartabat, serta memiliki kedaulatan atas lahan sawah yang digarapnya, sesuai dengan  Undang Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, dengan harapan bakal mampu melahirkan kaum tani yang mandiri, dinamis, berdaulat, bermartabat dan sejahtera.

Dalam agribisnis perberasan, petani seharusnya mampu mengusahakan budidaya tanaman padi secara sistemik, memiliki ukuran yang jelas terhadap makna efesiensi dan efektivitas, mesti mempunyai cara pandang yang holistik guna mengembangkan profesionalisme, termasuk di dalamnya bagaimana langkah-langkah yang harus ditempuh agar yang namanya “petani beras” itu betul-betul menjadi orientasi utama kebijakan pembangunan petani di negeri ini. Ke arah sanalah sepantasnya kita menuju.

 

Bisnis Beras

Sekali pun banyak usulan yang menginginkan agar beras tidak lagi disebut sebagai komoditas politis dan strategis, namun Pemerintah terlihat belum dapat mengabulkan keinginan yang demikian, dan  tetap bertahan bahwa beras harus diposisikan sebagai komoditas politis dan strategis. Pemerintah tidak ingin main-main dalam melaksanakan kebijakan perberasan. Sebab, sekali saja kita keliru mengelolanya, maka dampak yang ditimbulkannya boleh jadi bakal memporak-porandakan kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.

Sikap Pemerintah dalam memperlakukan beras seperti ini, tentu dapat kita pahami. Menggeser posisi beras dari komoditas politis menjadi komoditas ekonomis, boleh jadi akan membawa banyak perubahan. Harga beras dapat mengikuti harga pasar dan mestinya para petani padi merasakan kenikmatannya. Ironisnya, ternyata para petani padi sendiri terekam tidak dapat menikmati kenaikan harga tersebut, tetapi justru para pedagang beraslah yang paling diuntungkan jika beras dijadikan komoditas ekonomis.

Ditetapkannya beras sebagai komoditas politis dan strategis, pada dasarnya disemangati oleh hasrat untuk terciptanya stabilitas pangan di dalam negeri. Sisi ini penting diwujudkan agar kebijakan perberasan dapat dikontrol secara ketat, khususnya yang berkenaan dengan sisi produksi dan harga serta distribusinya, dengan harapan  Pemerintah dapat memberi perhatian yang lebih khusus terhadap kebijakan perberasan ini.

Penentuan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk Gabah dan Beras yang diatur lewat Intruksi Presiden, pada intinya memberi gambaran kepada kita bahwa Pemerintah betul-betul serius melakukan pengelolaan terhadap perberasan ini.  Pemerintah dalam hal ini, tidak mau kecolongan lagi seperti pada masa Pemerintahan Orde Lama,  karena adanya pengelolaan yang keliru di bidang perberasan, maka terjadilah antri beras di beberapa daerah, yang berujung dengan tumbangnya suatu Pemerintahan. Belajar pada kejadian yang demikian, sejarah mencatat, baik Pemerintahan Orde Baru mau pun Orde Reformasi, terlihat sangat hati-hati dalam menerapkan kebijakan perberasan.

Salah satu kebijakan perberasan yang dijaga ketat oleh Pemerintah, selain HPP adalah terkait dengan pengadaan gabah atau beras yang bersumber dari dalam negeri. Dalam prakteknya Pemerintah tetap mengoptimalkan Perum Bulog dalam tataran operasionalnya,  bersama mitra kerja diberi tugas dan kewenangan untuk menyelenggaraan pengadaan gabah dan beras sesuai dengan yang diatur dalam Inpres Perberasan. Untuk lebih meningkatkan efektivitas dan efesiensi, Perum Bulog diperbolehkan untuk membangun networking yang lebih berkualitas dengan pelaku ekonomi lain yang berada di perdesaan.

Pola dan mekanisme kemitraan yang dilakukan sekarang, sebetulnya  telah berlangsung sejak tahun 1980-an. Pemerintah meminta para mahasiswa untuk tampil menjadi Satuan Tugas Pengadaan Gabah dan Beras, secara tidak langsung menyatakan bahwa kemitraan itu adalah sesuatu yang sangat penting. Masalahnya adalah kemitraan seperti apa yang sebaiknya dikembangkan saat ini agar sesuai dengan suasana kekinian yang tengah berlangsung ? Jawaban inilah yang perlu kita dalami bersama sehingga dapat dijadikan salah satu solusi cerdasnya.

Copyright © Humas Bappeda Provinsi Jawa Barat 2022