BAPPEDA JABAR - Makam Prabu Aji Putih akan Tenggelam di Waduk Jatigede
Makam Prabu Aji Putih akan Tenggelam di Waduk Jatigede
18 December 2015 19:05

SUMEDANG, (PRLM).-Situs makam keramat leluhur Sumedang, Prabu Guru Aji Putih di Desa Cipaku, Kecamatan Darmaraja, dipastikan akan hilang ikut tenggelam dengan penggenangan Waduk Jatigede.

Kondisi itu, sebagai konsekuensi logis dari keputusan para pemangku adat dan budayawan Cipaku yang tetap menolak makam itu dipindahkan. Padahal, Prabu Guru Aji Putih (696-721 Masehi) merupakan karuhun (nenek moyang) warga Sumedang bahkan raja di kerajaan pertama di wilayah Sumedang, yakni Kerajaan Tembong Agung.

Kerajaan Tembong Agung merupakan cikal bakal berdirinya Kerajaan Sumedang Larang yang menjadi kebanggaan seluruh masyarakat Sumedang.

“Makam Prabu Guru Aji Putih, salah satu situs di wilayah genangan Waduk Jatigede yang tidak akan dipindahkan. Karena tidak dipindahkan, sehingga fisik situsnya akan hilang terendam genangan Waduk Jatigede,” ujar Kasi Kepurbakalaan dan Sejarah, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kabupaten Sumedang, Wawan Herliawan dalam ekspose “Penanganan Situs Jatigede” di Media Center kantor Induk Pusat Pemerintahan (IPP) Pemkab Sumedang Jln. Prabu Gajah Agung, Sumedang, Jumat (18/15/2015).

Acara tersebut dibuka Kabag Humas dan Protokol Kab. Sumedang, Asep Tatang Sujana yang juga bertindak selaku moderator.

Menurut dia, penolakan pemindahan makam Prabu Guru Aji Putih itu atas dasar aspirasi dan kesepakatan para pemangku adat dan budayawan setempat di Cipaku.

Alasan penolakannya beragam. Ada yang menolak, tanpa alasan. Pokoknya mereka tidak mau makam itu dipindahkan walaupun konsekuensinya akan hilang terendam genangan Waduk Jatigede.

Alasan lainnya, masyarakat sangat meyakini bahwa makam tersebut tidak akan tergenang, walaupun secara logika pasti akan tenggelam karena berada di wilayah genangan Jatigede.

“Ada lagi alasan penolakannya, mereka sangat menghormati makam tersebut. Karena rasa hormatnya itu, mereka tak berani menyentuh apalagi memindahkan makam tersebut,” kata Wawan.

Ia mengatakan, alasan penolakan itu diakui cenderung lebih bersifat mistis, ketimbang pemikiran realistis dan ilmiah. Contohnya, meski sudah pasti makam tersebut bakal terendam karena termasuk wilayah genangan Waduk Jatigede, mereka begitu yakin makam itu tidak akan tergenang.

“Alasan mereka memang tak bisa dicerna akal sehat. Akan tetapi, itu kenyataan yang mereka sampaikan kepada tim fasilitasi penanganan situs Jatigede, termasuk saya sendiri. Atas dasar penolakan itu lah, sehingga diputuskan makam Prabu Guru Aji Putih tidak akan dipindahkan,” tuturnya.

Lebih jauh Wawan menyebutkan, proses penanganan makam Prabu Guru Aji Putih terjadi pro dan kontra yang sangat kuat di antara para pemangku adat, budayawan, sesepuh dan tokoh masyarakat di Kabupaten Sumedang.

Pro dan kontra itu hingga kini belum terselesaikan dan belum ada titik temu. Sudah beberapa kali tim fasilitasi memediasi mereka, termasuk pertemuan di Gedung Negara Pemkab Sumedang beberapa waktu lalu. Namun, hasilnya tetap buntu.

Bahkan dalam pertemuan itu, terjadi debat sengit yang berlangsung alot. Karena tidak ada titik temu, sehingga tim fasilitasi mengembalikan pada aspirasi dan keputusan pemangku adat dan budayawan Cipaku hingga mereka menyepakati tidak mau dipindahkan.

“Kami sudah beak dengkak (berusaha keras) memediasi pro dan kontra, tapi tidak menghasilkan titik temu. Berbagai opsi sudah ditawarkan, termasuk membuat situs makam terapung, tapi tetap saja ditolak. Alasannya, kalau buang air kecil (kencing) di situs terapung, sama dengan membuang kotoran di makam asli yang ada di dasar Waduk Jatigede. Ya akhirnya, diputuskan dan disepakati makam Prabu Guru Aji Putih tidak akan dipindahkan,” ujar Wawan.

Menanggapi hal itu, Sekretaris Dewan Kebudayaan Sumedang (DKS), Tatang Sobarna mengatakan, penanganan situs Jatigede mengacu pada Undang-Undang No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

Dalam salah satu pasalnya, disebutkan apabila ada benda cagar budaya termasuk situs yang terancam rusak atau hilang, harus diselamatkan dengan memindahkannya ke tempat aman. Kondisi itu, terjadi pada makam Prabu Guru Aji Putih dan situs lainnya di wilayah genangan Waduk Jatigede.

Sejumlah situs bersejarah itu, kata dia, terancam hilang karena akan terendam genangan Waduk Jatigede. Akan tetapi, kondisi di lapangan berbeda.

Meski terancam, masyarakat setempat di Cipaku tetap menolak makam dipindahkan. Namun, ada pula masyarakat lainnya yang menyetujui dipindahkan sebagai bentuk penyelamatan.

Tak pelak, terjadi lah pro dan kontra pada penanganan makam tersebut. Bahkan pro dan kontra di masyarakat sangat kuat hingga dikhawatirkan menjurus pada konflik horizontal di masyarakat.

“Jadi persoalan ada di elemen masyarakat sendiri. Namun, kami tidak mau terjadi konflik horizontal di masyarakat. Meski dalam undang-undang, situs yang terancam perlu diselamatkan, namun tim fasilitasi mengembalikan pada aspirasi dan keputusan masyarakat setempat hingga akhirnya disepakati tetap menolak dipindahkan,” ucapnya.

Dikatakan, semestinya masyarakat yang pro dan kontra berpikir jernih dengan kepala dingin dan membicarakannya dari hati ke hati. Sebab, penanganan situs makam Prabu Guru Aji Putih itu, bukan sekedar menyangkut kepentingan sekelompok orang, melainkan seluruh masyarakat Kabupaten Sumedang.

“Lebih luas lagi, untuk kepentingan generasi muda yang akan datang dan anak- cucu kita nanti,” ujar Tatang yang juga termasuk tim fasilitasi penanganan situs Jatigede.

Ia menambahkan, seandainya nanti makam Prabu Guru Aji Putih jadi terendam, DKS sudah mendokumentasikan terkait keberadaan makam tersebut. Dokumentasi itu, di antaranya berupa film, foto, buku sejarah dan budaya serta data pendukung lainnya.

“Proses dokumentasinya sampai sekarang masih berlangsung. Kalau nanti fisik makamnya hilang, kami sudah punya dokumentasinya untuk bekal pengetahuan sejarah dan budaya para generasi muda nanti,” ucapnya.

Copyright © Humas Bappeda Provinsi Jawa Barat 2022